harianpalu.com - Palu, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Zullikar Tanjung, S.H., M.H didampingi Aspidum Fithrah, S.H., M.H kembali memimpin ekspose penghentian penuntutan berdasarkan restorative justice, berlangsung di Aula Vicon Kejati Sulteng, dilakukan secara virtual bersama Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAMPIDUM) Kejaksaan RI beserta Jajaran. Selasa,17/12/2024.
Ekspose kali ini menyoroti dua kasus berbeda yang melibatkan tersangka dengan latar belakang dan motif yang sarat emosi dan keterdesakan.
Perkara pertama berasal dari Kejaksaan Negeri Palu dengan Tersangka, An. Mustafa alias Mustafa dengan korban An. Rizqi Lulhag, harus berhadapan dengan jerat hukum setelah diduga melanggar Pasal 480 ayat (1) KUHP. Mustafa diketahui melakukan penadahan sepeda motor curian yang digunakannya untuk aktivitas sehari-hari. Di balik tindakannya, terselip kisah kebutuhan hidup yang mendorongnya mengambil jalan pintas. Sebuah langkah keliru yang kini menuntut pertanggungjawaban.
Namun, alih-alih menyeretnya ke meja hijau, pendekatan restorative justice menawarkan harapan. Melalui musyawarah yang melibatkan korban, tersangka, dan aparat penegak hukum, disepakati bahwa penyelesaian secara kekeluargaan lebih mencerminkan esensi keadilan. Mustafa menyampaikan penyesalan mendalam dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan.
Perkara selanjutnya dari Kejaksaan Negeri Morowali dengan Tersangka An. Muhammad Arman alias arman dengan korban An. Jean Reckying Mbaga Ode, menghadapi tuduhan melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP. Peristiwa yang menyeret Arman ke pusaran hukum bermula dari salah paham yang memicu emosi tak terkendali. Dalam situasi panas, sebuah pukulan dilepaskannya, yang kemudian berujung pada laporan hukum dari korban.
Namun, semangat restorative justice kembali menjadi jembatan menuju perdamaian. Dengan mediasi intensif, Arman dan korban berhasil berdamai. Tersangka menyampaikan permohonan maaf yang tulus, sementara korban dengan besar hati menerima dan memilih menyelesaikan perkara di luar jalur jalur pengadilan. Penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice ini bukanlah bentuk kelonggaran terhadap hukum, melainkan manifestasi dari keadilan berbasis nilai kemanusiaan. Restorative justice tidak hanya memberi kesempatan kepada tersangka untuk memperbaiki diri, tetapi juga mengurangi beban sistem peradilan pidana.
Dengan langkah ini, harapan akan keadilan yang lebih beradab kian menguat. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah berkomitmen untuk terus mengedepankan solusi yang membawa harmoni, tanpa mengesampingkan supremasi hukum.(Red/Anjas)